Untuk cowok-cowok lihat-lihat aja ya, jangan ikutan nimbrung, atau kalian buat blog sendiri aja :-)
Mengenai Budaya Clubbing dan Rave Indonesia
Ini adalah ringkasan pendapat masyarakat dan pandangan mereka mengenai budaya clubbing, dance, dan rave di Indonesia –khususnya di Jakarta. Ini adalah ringkasan pendapat masyarakat dan pandangan mereka mengenai budaya clubbing, dance, dan rave di Indonesia –khususnya di Jakarta Wacana berikut adalah saduran bahasa Indonesia dari artikel bertajuk “Indonesia’s Dance Culture: The Society’s Scapegoat“. Artikel diterjemahkan secara sukarela oleh Michael Halim. Penulis banyak mengucapkan terimakasih untuk semua pihak yang telah menyumbangkan opini, referensi, dan juga untuk Michael Halim sebagai penerjemah. Semoga bermanfaat!
Pertama, budaya ini dilihat sebagai ciptaan masyarakat, sebuah pengakuan bahwa masyarakat mempunyai kemapanan secara finansial untuk kebutuhan sekunder dan subordinat. Dengan tingginya statistik untuk konsumen berada di level “non-tax paying”, sebagian besar pemasar komersil dan perencana retail menggunakan ini sebagai potensi pasar yang besar; pengiklan juga menggunakan ilustrasi yang diasosiasikan dengan kuat ke budaya ini. Harap diingat ketika dikatakan konsumen berada di level “non-tax paying”, itu adalah istilah ekonomi belaka untuk: mereka adalah remaja, sebagian besar dari mereka.
Pandangan kedua menganggap bahwa kultur malam adalah alat peer-pressure dimana mereka mempelajari suatu susunan nilai yang baru, bukan pada apa yang benar atau salah, tetapi lebih kemampuan mereka mengikuti perkembangan jaman. Dalam kalimat saya sendiri, ini adalah saat dimana mereka berkembang dan menjalani kehidupan yang sesuangguhnya. Pilihan mereka sendiri terpapar di depan mereka: apakah mereka mau mengkonsumsi ekstasi, minum alkohol sampai “tepar”, menemukan cinta, atau hanya mendengarkan musik, atau mungkin menghabiskan uang mereka. Pilihan itu ada di tangan mereka sendiri, dan apapun yang mereka pilih, apapun konsekuensi yang mereka ambil, itu akan membentuk karakter mereka. Saya sendiri setuju dengan anggapan ini karena hidup dipelajari terbaik dengan menjalankannya, dan juga dengan membuat kesalahan.
Yang terakhir adalah persepsi yang akan saya angkat dalam wacana ini, budaya ini juga telah menjadi “kambing hitam” dalam masyarakat. Kultur dunia malam Indonesia adalah sasaran yang mudah untuk diselubungkan dengan citra negatif. Pengikutnya seringkali dianggap sebagai segerombolan anak muda yang hedonis dan penganut sekularisme dan yang perempuan hanyalah “lollipop barbie”. Sinetron menggunakan mereka sebagai target untuk diantagoniskan, menggambarkan kultur ini dimana orang-orang jahat berkumpul dan dimana kejadian buruk terjadi. Pendek kata, glamor itu salah, kesenangan adalah dosa. Banyak pengamat perilaku konsumen berteori bahwa ini adalah perlawanan masyarakat terhadap “the invisible hand”: kekuatan yang memegang pasar.
Kita bisa melihat adanya sebuah kontradiksi: di satu sisi mereka dieksploitasi oleh industri sebagai orang yang ‘cool’, sukses, gambaran konsumen masa kini; di sisi lain, dicap oleh masyarakat sebagai hedonis, penganut seks bebas, dan orang yang suka menghambur-hamburkan uang. Yang ironis dari anggapan ini adalah terasa hambarnya pengakuan bahwa kultur dance di Indonesia adalah indikasi kuat dari apresiasi musikal itu sendiri, dan kompetensi profesional yang bergerak di bidang ini juga seringkali diabaikan.
Tidak banyak orang -bahkan clubber sendiri-menyadari sistem yang ada dalam pekerjaan semacam ini; sama seperti sistem yang ada dalam dunia industri, kultur ini juga memiliki berbagai variasi pekerjaan, etika dan politiknya. Dalam sudut pandang intelektual, kultur ini diharapkan mempunyai kesadaran tinggi terhadap teknologi, yakni memahami teknologi untuk setiap kebutuhan (proses mixing, visualisasi, teknik pencahayaan, dan lain-lain) dan kebutuhan lainnya yang juga disesuaikan dengan standar internasional. Tidak lupa kemampuan untuk mendatangkan keuntungan secara finansial dari segala aspek. Ada juga pihak yang berhasil menciptakan kerjasama global, seperti membawa kompetisi internasional ke tingkat lokal, membuat rekaman dengan label internasional (contoh: Romy, Altuna, Innerlight), belum lagi banyaknya DJ asal Indonesia yang tampil di negara lain, seperti Singapura, Malaysia, Afrika Selatan, dan China.
Walaupun kultur ini berslogan “Support Your Local DJ” bahkan pada level global, usaha dari penikmat dance Indonesia untuk mempromosikan sisi positif kultur ini seringkali diabaikan, bahkan lebih buruk lagi, diremehkan. Ironisnya, hal ini juga datang dari clubber sendiri. Kultur ini mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap kuantitas, dan pelakunya menyadari betul bahwa berbicara tentang idealisme musik tidak akan membuat orang memesan dua gelas Long Island atau sebotol Chivas. Mereka tahu konsekuensi mereka di bisnis ini, dan mereka harus menghitung angka sedemikian rupa. Mengetahui bahwa kuantitas akan mendatangkan keuntungan lebih dan lebih, mereka terkurung dengan image negatif. Jadi apa yang dapat mereka lakukan?
Stigma antagonistik ini tentu saja terjadi karena sebuah alasan, dan pengikut kultur ini cukup realistis tentang situasi ini. Mereka bahkan mengakuinya ke depan publik: Ya, kami memiliki isu seks bebas dan penggunaan narkoba. Namun di sisi lain, hal ini pun menjadi sesuatu yang biasa dan diterima sebagai justifikasi sosial, bahkan suatu kebutuhan sosial. Namun sepertinya pengikut kultur ini tidak dilibatkan atau diperbolehkan untuk memusingkan isu seperti di atas, satu-satunya yang mereka “berhak” pusingkan adalah razia oleh aparat.
Ini adalah sebuah gambaran yang lebih besar, saya bertanya ke seorang DJ ternama apakah mungkin jika DJ lokal bekerjasama dalam mempromosikan dance culture yang lebih positif dan lebih ‘bersih’. Dia berkata bahwa dia sendiri ingin melakukan hal itu, tetapi masalahnya adalah dia dan DJ lain tidak ingin terdengar munafik untuk sesuatu yang bukan menjadi masalah mereka, dan mereka juga tidak ingin kehilangan audiens mereka hanya karena resiko itu.
Cukup masuk akal. Jika saya adalah pelaku bidang ini, saya pun akan berpendapat hal yang sama.
Fakta ini tidak dapat diabaikan begitu saja.
Let the society decide, but let the culture educate.
No comments:
Post a Comment